Kamis, 16 September 2010

Kamu tahu istriku?

Kamu tahu istriku? Apa yang aku takutkan sampai sekarang ? Hanyalah ketika buah hati kita tak menjadi bangga denganku,... Ayahnya. Ayah yang tak terlalu hebat untuk dibanggakan olehnya. Bukan seorang Super Dad. Seperti iklan-iklan diTelevisi itu. Punya power full, ganteng, atletis, tangguh karena bisa menaklukkan setiap tantangan-tantangan extrem. Terkadang hal-hal seperti itu yang membuatku takut gagal. Gagal menjadi seorang ayah yang super. Yang bisa membuat mata kayyisah berbinar karena bangga . Aku takut jika hidupku akan menjadi beban untukmu dan Kayyisahku yang cantik. Aku takut daia akan minder didepan teman-temannya. Apalagi ketika nanti ia bermain bersama teman sebayanya. Mereka bercerita tentang kehebatan ayahnya masing-masing. Apa yang akan ia ceritakan tentang aku? Apa yang akan ia banggakan dariku? Aku hanyalah seorang ayah yang memiliki banyak kekurangan. Ayah yang tak hebat dan sempurna. Aku ingin engkau mengajarinya untuk bisa mencintaiku dengan tulus. Sepertimu….
Ya…Alloh  berilah aku kekuatan untuk bisa menjadikan keluargaku mulia dihadapanMu serta MakhlukMu. Karena aku tak akan sanggup menanggung beban atas fitnah yang mendera keluargaku. Jadikan aku termasuk ke golongan hamba-hambaMu yang Sabar. Amiin…..


NASIBKU PERSIS NASIBMU….WON….




Siang itu matahari meluncurkan cahayanya, menembus lapisan ozon tua yang mulai berlubang. Panas menimpa tubuhku. Membuat sebentuk bayangan tubuh yang kemudian jatuh meraba jalanan. Panas menyengat kulit juga berdebu mulai betingkah dikaos lusuhku. Sebenarnya tak layak juga disebut kaos. Tapi Lebih mirip dengan kain pel, sementara simungil bergelayut manja disebelah kiri pahaku. Kaki kecilku,sahabat dari kecilku. Dengan hiasan bulatan hitam melingkar di satu sisi mata kaki. Yang kata orang itu Kapal kulit. Lapisan kulit yang dipaksa mengeras,  karena harus mengigit batuan aspal tiap hari, panas, keras, dan kotor Membuat penampilannya nampak kian lusuh,dekil dan menjijikkan.  Kaki yang selalu menjadi pusat perhatian itu.aku gunakan sebagai pendayung tubuhku. Tak sedikit orang untuk berbelas kasihan padaku. Kaki yang menggantung manja dan pekuk telapaknya itu luruh menyapu angin berdebu yang memuai serta bercampur aneka kotoran. Membuat penampilannya nampak kian lusuh,dekil dan menjijikkan. Jangankan orang lain. Aku sendiripun terkadang malas untuk sekedar meliriknya. Aku sudah tak peduli lagi seperti apakah kini kakiku Ah  rutukku dalam hati.

Sesampai diujung sebuah pasar, aku melihat sekerumunan orang melihat topeng monyet, ramai juga....penggemarnya. untung gak sampai berdesak-desakan dan pakai pingsan-pingsan segala. Maklum penonton cukup antusias, melihat kakek buyutnya, konon menurut darwin. Sembari menari dan beratraksi  dengan diiring tabuhan kendang sang pawang. Sesekali monyet itu mencuri pandang padaku, mungkin dalam hatinya berkata “ ah..cakep amat nih orang, seandainya teori darwin benar. Aku akan menjadikanmu penerus generasiku....” Aku terkesiap sembari aku pelototkan bola mataku ke arahnya. “ ogah...ih siapa loe ?  Monyetpun Cuma nyengir, sambil menikmati sepotong pisang yang mulai kecoklatan. Entah busuk atau tersengat panas tak pelak receh demi recehan terkumpul di depan sang pawang.. Akupun ikut menaruhkan koin lima ratusan rupiah. Ti..in..ng...g..g uang itu menggema  jatuh tepat diwadah uang pemilik topeng monyet itu. Tiba-tiba saja aku merasakan ada rasa yang masygul. Monyet itu....! gumamku. Aku tatap keletihan dan sayu dimatanya yang nampak berkaca-kaca. Ah..h.. lilitan rantai yang mencengkeram lehernya mulai nampak berubah warna. Petanda sudah sekian lama ia berkalung rantai. “...kamu lelah won...? bisikku padanya. Kliwon adalah nama panggilan gelar kehormatan untuknya dari sang empunya. Ya.ch... untung sang pemiliknya tidak perlu mencarikan akta kelahiran untuk mendaftarkan namanya. Aku teringat saat menjadi penghuni dipanti. Dikeluarkan saat ada yang menyumbang. Tetapi saat tak ada sumbangan dirantai dan diberi makanan standar makananmu, Nasibku persis nasibmu….won….


Beruntungnya aku dik..!

Alhamdulillah...Beruntungnya aku dik..! Engkaulah yang dipertemukan Alloh dengan aku. Engkau dikirim saat aku sedang bergelut hebat dengan kekecewaan dan rasa frustasi. Frustasi oleh keputusasaan. Frustasi dengan ketidakterimaan atas semua taqdirku. Rasa frustasiku semakin lama kian keras menggerus kepercayaan diriku, rasa percaya diri yang hanya tinggal sepotong tersisa. Dipenghujung harapan kecil ini aku mencoba untuk mendongakkan kepala dengan tegak, agar seolah tampak tegar. Tersenyum hanya menjadi pil penenang sesaat. Toh akhirnya aku tetap meneteskan air mata.  Seringkali aku mencoba untuk berdoa “ semoga Alloh segera membebaskanku dari mimpi buruk ini..... Namun tiap kali tangan menengadah, air mata deras berderai, bibir basah memanggil-manggil Robbi...Robbi.... aku hanya merasakan kelu. lantunan doaku menjadi terdengar sumbang. Terasa garing, tak ada harapan yang menyelimutinya. Seolah hanya menjadi rutinitas biasa, cuma sebagai ceremonial kosong, daripada tidak melakukannya sama sekali. Ketika kekecewaan itu menusuk hati, diri bermaksud bersimpuh memohon kepadaNya, meminta petunjukNya. aku beranikan diri Perlahan untuk mengawalinya dengan takbiratul ihram. Pun tetap kurasakan berat, mulut hanya terkatup rapat dan tak sekalipun terdengar takbir dari lisanku. Membisu, tersekat dalam waktu yang berdetak. Malu diri membungkus hati, merasa tidak pantas lagi untuk meminta. Teringat aneka dosa yang pernah kuukir dengan bangga. Semula hanyalah sebentuk noktah lalu terakumulasi sempurna menjadi corak yang menghitam dihati, berkerak dan berkarat. Rekaman masa sebelum aqil baligh tersuguh kembali. Saat bibir lugu ini masih fasih menyebut lafadz Alloh. Ketika masih ringan membaca lembar demi lembar Mushaf Alquran dengan penuh kerinduan, mendekapnya penuh kebanggaan kala berangkat mengaji. Ah....damainya...kemanakah rasa itu pergi. Batinku merutuk dan menjerit. Kucoba bertahan dengan separuh hati yang tetap melantun dalam doa. Namun keraguan menyelinap disela hati. Lirih membisikkan tanya “Akankah Dia mau mendengarmu? Sedang Dia maha tahu, tahu tentang berapa jumlah rakaat yang sengaja kamu lupakan. Tahu tentang pengkhianatanmu padaNya, atas nama cinta kepada Reisya melupakan status keyakinanmu? Apakah kamu sadar akan dosamu? Aku menangis, kehinaan diri merasuki jiwa yang labil. Akupun merasa tak pantas untuk kembali. Diantara kebimbangan hati. Nafsu menjelma menjadi ilusi kesenangan, secepat kedipan mata ia menjadi buas menerkam kesadaran. Akhirnya tetap kupilih jalan kesesatan. Aku memilih untuk kalah dan malas bertahan. Hembusan kesenangan diluar kuanggap terlalu nikmat untuk ditinggalkan, aku menjadi terlalu sentimentil, gengsi dan sok kuat.  Saat masalah menghantam dinding iman yang sudah lama lapuk dan terlupakan. Akupun memilih untuk takluk dan terpuruk. Jatuh dalam mimpi-mimpi indah yang aku kreasikan dalam nyanyian-nyanyian diatas hingar bingar panggung. Berisikan ratapan taqdir, kegagalan cinta, penuntutan hak,serta hujatan-hujatan khas orang-orang keblinger. Budaya tak punya rasa malu,  tak risih, dan cuek bebek indah menghiasi hidup sebagai anak band. Semua terasa semau gue, asal gue bisa enjoy dan ga nyenggol loe... gue pake...! prinsip dasar kebebasan ini menjiwai masa remaja. Anti kemapanan dan atas nama solidaritas telah membutakan naluri.  Kehidupan hedonis barat tereguk nikmat bersama celotehan, tepuk tangan juga teriakan saat bernyanyi. Teriakanku menenggelamkan gema adzan disekitar. Syair-syairpun hanya gambaran cita-cita dan mimpi tentang adanya suatu tempat,. Entah...!, dimana tak ada lagi pembedaan kelas, strata sosial, klasifikasi kenormalan antara satu dan yang lain. Suatu tempat yang bisa secara legowo melihat kami sebagai manusia utuh atau. setidaknya pengakuan bahwa kami ada, dan diberi ruang untuk berkompetisi secara fair. Hidup berdampingan, bersama-sama mencari kehidupan yang baik.  Sekilas bayangan itu tampak indah dirasa. Tapi sebenarnya hanyalah tipuan kosong. Tak ada solidaritas nyata. Hanya ilusi yang ditiupkan kaum pengusung kebebasan untuk kembali menjauhkan anak dari induk semangnya.. Disibukkan dengan penuntutan hak yang membabi buta. Aku menyadari sepenuhnya, tetap tidak akan pernah ada solidaritas abadi.  Lama aku terpasung angan-angan. Melupakan hakikat hidupku sebagai manusia. Bahwa hidup perlu dirubah. 15 tahun aku hidup dalam ketakutan, ketakutan akan jodoh dan rizqi. Selalu saja terselip tanya, siapakah yang akan sudi menerima pinanganku. Mendampingiku, seorang lelaki dengan ciri fisik berbeda dengan yang lain.