Kamis, 16 September 2010

Beruntungnya aku dik..!

Alhamdulillah...Beruntungnya aku dik..! Engkaulah yang dipertemukan Alloh dengan aku. Engkau dikirim saat aku sedang bergelut hebat dengan kekecewaan dan rasa frustasi. Frustasi oleh keputusasaan. Frustasi dengan ketidakterimaan atas semua taqdirku. Rasa frustasiku semakin lama kian keras menggerus kepercayaan diriku, rasa percaya diri yang hanya tinggal sepotong tersisa. Dipenghujung harapan kecil ini aku mencoba untuk mendongakkan kepala dengan tegak, agar seolah tampak tegar. Tersenyum hanya menjadi pil penenang sesaat. Toh akhirnya aku tetap meneteskan air mata.  Seringkali aku mencoba untuk berdoa “ semoga Alloh segera membebaskanku dari mimpi buruk ini..... Namun tiap kali tangan menengadah, air mata deras berderai, bibir basah memanggil-manggil Robbi...Robbi.... aku hanya merasakan kelu. lantunan doaku menjadi terdengar sumbang. Terasa garing, tak ada harapan yang menyelimutinya. Seolah hanya menjadi rutinitas biasa, cuma sebagai ceremonial kosong, daripada tidak melakukannya sama sekali. Ketika kekecewaan itu menusuk hati, diri bermaksud bersimpuh memohon kepadaNya, meminta petunjukNya. aku beranikan diri Perlahan untuk mengawalinya dengan takbiratul ihram. Pun tetap kurasakan berat, mulut hanya terkatup rapat dan tak sekalipun terdengar takbir dari lisanku. Membisu, tersekat dalam waktu yang berdetak. Malu diri membungkus hati, merasa tidak pantas lagi untuk meminta. Teringat aneka dosa yang pernah kuukir dengan bangga. Semula hanyalah sebentuk noktah lalu terakumulasi sempurna menjadi corak yang menghitam dihati, berkerak dan berkarat. Rekaman masa sebelum aqil baligh tersuguh kembali. Saat bibir lugu ini masih fasih menyebut lafadz Alloh. Ketika masih ringan membaca lembar demi lembar Mushaf Alquran dengan penuh kerinduan, mendekapnya penuh kebanggaan kala berangkat mengaji. Ah....damainya...kemanakah rasa itu pergi. Batinku merutuk dan menjerit. Kucoba bertahan dengan separuh hati yang tetap melantun dalam doa. Namun keraguan menyelinap disela hati. Lirih membisikkan tanya “Akankah Dia mau mendengarmu? Sedang Dia maha tahu, tahu tentang berapa jumlah rakaat yang sengaja kamu lupakan. Tahu tentang pengkhianatanmu padaNya, atas nama cinta kepada Reisya melupakan status keyakinanmu? Apakah kamu sadar akan dosamu? Aku menangis, kehinaan diri merasuki jiwa yang labil. Akupun merasa tak pantas untuk kembali. Diantara kebimbangan hati. Nafsu menjelma menjadi ilusi kesenangan, secepat kedipan mata ia menjadi buas menerkam kesadaran. Akhirnya tetap kupilih jalan kesesatan. Aku memilih untuk kalah dan malas bertahan. Hembusan kesenangan diluar kuanggap terlalu nikmat untuk ditinggalkan, aku menjadi terlalu sentimentil, gengsi dan sok kuat.  Saat masalah menghantam dinding iman yang sudah lama lapuk dan terlupakan. Akupun memilih untuk takluk dan terpuruk. Jatuh dalam mimpi-mimpi indah yang aku kreasikan dalam nyanyian-nyanyian diatas hingar bingar panggung. Berisikan ratapan taqdir, kegagalan cinta, penuntutan hak,serta hujatan-hujatan khas orang-orang keblinger. Budaya tak punya rasa malu,  tak risih, dan cuek bebek indah menghiasi hidup sebagai anak band. Semua terasa semau gue, asal gue bisa enjoy dan ga nyenggol loe... gue pake...! prinsip dasar kebebasan ini menjiwai masa remaja. Anti kemapanan dan atas nama solidaritas telah membutakan naluri.  Kehidupan hedonis barat tereguk nikmat bersama celotehan, tepuk tangan juga teriakan saat bernyanyi. Teriakanku menenggelamkan gema adzan disekitar. Syair-syairpun hanya gambaran cita-cita dan mimpi tentang adanya suatu tempat,. Entah...!, dimana tak ada lagi pembedaan kelas, strata sosial, klasifikasi kenormalan antara satu dan yang lain. Suatu tempat yang bisa secara legowo melihat kami sebagai manusia utuh atau. setidaknya pengakuan bahwa kami ada, dan diberi ruang untuk berkompetisi secara fair. Hidup berdampingan, bersama-sama mencari kehidupan yang baik.  Sekilas bayangan itu tampak indah dirasa. Tapi sebenarnya hanyalah tipuan kosong. Tak ada solidaritas nyata. Hanya ilusi yang ditiupkan kaum pengusung kebebasan untuk kembali menjauhkan anak dari induk semangnya.. Disibukkan dengan penuntutan hak yang membabi buta. Aku menyadari sepenuhnya, tetap tidak akan pernah ada solidaritas abadi.  Lama aku terpasung angan-angan. Melupakan hakikat hidupku sebagai manusia. Bahwa hidup perlu dirubah. 15 tahun aku hidup dalam ketakutan, ketakutan akan jodoh dan rizqi. Selalu saja terselip tanya, siapakah yang akan sudi menerima pinanganku. Mendampingiku, seorang lelaki dengan ciri fisik berbeda dengan yang lain. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar